Chapter Ten: Via Feminism to Parkinship
This is a draft of chapter ten of a book in process titled Kemeriahan untuk Masa Depan.
It is for use by participants in the HelpAlbert ZGroup. Please do not circulate
In discussing visions for gender relations in accord with our overall conceptual framework we have in mind a good society's procreation, nurturance, socialization, sexuality, and organization of daily home life with a special eye on three dimensions of implications – those bearing on relations between women and men, between homo and heterosexuals, and between members of different generations.
Kinship Vision
A problem with this discussion, is that there is as yet very little clarity about what revolutionized kinship relations will be like in a new society. What altered or new institutions will organize procreation, nurturance, and socialization? How will the structures and social roles we fill to accomplish upbringing and home life change?
Our values imply that accomplishing kinship functions should also enhance solidarity among the involved actors, preserve diversity of options and choices, apportion benefits and responibilities fairly, and convey self managing influence – all as make sense in this sphere of life, taking into account issues of age, etc.
So with that set of broad desires, will there be families as we now know them? And whatever families we have, what else will exist? Will upbringing diverge greatly from what we know now? What about courting and sexual coupling? How will the old and young interact with what we now call adults and vice versa, how will adults react with the elderly and the young?
To fulfill our values of course good kinship structures will liberate women and men rather than causing the former to be subordinate to the latter, and likewise for other hierarchical or degrading relations. Such hierarchies would violate our values, clearly.
In these matters, we are therefore talking about liberating a side of life where the gain will be removing the features that produce systematic sexism, homophobia, and ageism, plus gaining an array of positive improvements that we can only guess at until we have experimented with more complete proposals for visionary kinship institutions, but which will at the very least include the benefits of additional people reaching their fullest potentials.
It isn't that all problems associated with gender will disappear in a good society, of course, or that all unmet desires or un-manifested capacities will be always and everywhere perfectly addressed without any pain and with maximum benefits for all. Even in a wonderful society, we can confidently predict that there will still be unrequited love. Sex will not lack turmoil. Rape and other violent acts will occur, albeit far less often than now. Social change can't remove the pain of losing friends and relatives to premature death. It can't make all adults equally adept at relating positively with children or with the elderly or vice versa. Uncle Useem and Aunt Arundhati may be a perfect match for our interests, or, perhaps not so much.
Namun, apa yang dapat kita harapkan dan tuntut secara masuk akal bukanlah semacam penghapusan utopis atas semua konflik dan penderitaan, melainkan bahwa bentuk-bentuk keterlibatan baru akan menghilangkan pelanggaran sistematis terhadap perempuan, kaum gay, anak-anak, dan orang lanjut usia yang menyebabkan seluruh kelompok ini tersingkir. menderita kerugian materi atau sosial.
We can demand that innovations eliminate the structural coercion of men and women, of hetero and homosexuals, and of all adults and children into patterns manifesting and preserving systematic violations of solidarity, diversity, equity, and self mangement.
How will all this happen? Not how will we get to this better future, which is a derivative and even more difficult question that we take up later, but what will the institutions defining a vastly better kinship future look like?
Some people have good ideas, no doubt, but I have to admit that I have barely an inkling about this visionary question. Indeed, I can find very little in the way of a proposed answer in the contemporary literature of the left, though in the past people, mainly women, have attempted to provide some visionary sex-gender insights and I would like to mention some of those attempts as being worth trying to elaborate into a gender related vision.
Dalam masyarakat kontemporer yang meninggikan laki-laki dengan menempatkan perempuan pada pilihan-pilihan yang kurang memberdayakan dan memuaskan, struktur penentu apa yang secara intrinsik menghasilkan tatanan seksis dan oleh karena itu perlu diubah secara mendalam untuk menghilangkan tatanan tersebut?
Yang kami maksud dengan tatanan seksis adalah laki-laki yang mendominasi perempuan dalam hal pendapatan dan keadaan, dalam hal peluang dan kualitas hidup, serta dalam kendali atas hasil-hasil sosial.
Seksisme terlihat jelas pada laki-laki yang memiliki kondisi dominan dan lebih kaya. Bentuknya lebih halus melalui kebiasaan komunikasi dan asumsi perilaku yang sudah berlangsung lama. Hal ini dihasilkan dan direproduksi oleh lembaga-lembaga yang membedakan laki-laki dan perempuan, termasuk secara paksa seperti dalam pemerkosaan dan pemukulan, namun juga secara lebih halus melalui perbedaan peran yang tampaknya diterima bersama dalam kehidupan rumah tangga, pekerjaan, dan perayaan serta dampak kumulatif dari tindakan tersebut. pengalaman seksis masa lalu tentang apa yang dipikirkan, diinginkan, dan dirasakan orang, dan tentang apa yang biasa atau bahkan dilakukan secara sadar oleh orang-orang.
If we want to find the source of gender injustice it stands to reason that we need to determine which social institutions and which roles within those institutions give men and women responsibilities, conditions, and circumstances, that engender motivations, consciousness, and preferences that elevate men above women.
Salah satu struktur yang kita temukan di semua masyarakat yang memiliki hierarki seksis adalah bahwa laki-laki adalah ayah, sedangkan perempuan adalah ibu dari anak-anak. Artinya, kita menemukan dua peran yang sangat berbeda yang dimainkan laki-laki dan perempuan dalam generasi berikutnya, masing-masing peran ditentukan secara sosial dan dalam arti kecil ditetapkan secara biologis.
Salah satu perubahan struktural yang secara konseptual sederhana dalam hubungan kekerabatan adalah dengan menghilangkan diferensiasi peran sebagai ibu/ayah antara laki-laki dan perempuan.
What if instead of women mothering and men fathering, women and men each parented children? What if men and women each related to children in the same fashion, with the same mix of responsibilities and behaviors (called parenting), rather than one gender having almost all the nurturing as well as tending, cleaning, and other maintenance tasks (called mothering), and the other gender having many more decision-based tasks, with one gender being more involved and the other more aloof – and so on?
I am not highly confident that replacing gender defined mothering and fathering with gender blind parenting would alone eliminate all the defining roots of sexism, but I do think this is likely to be a key innovation critical to removing the underlying causes of sexist hierarchies.
Ide khusus ini muncul, atau setidaknya saya pertama kali menemukannya dalam karya Nancy Chodorow, yang paling menonjol dalam buku berjudul, "The Reproduction of Mothering" (University of California Press). Buku ini menyatakan bahwa peran sebagai ibu adalah peran yang didefinisikan secara sosial dan bukan biologis, dan bahwa sebagai ibu, perempuan akan menghasilkan anak perempuan yang tidak hanya memiliki kapasitas sebagai ibu namun juga memiliki keinginan untuk menjadi ibu. “Kapasitas dan kebutuhan ini,” lanjut Chodorow, “dibangun dan tumbuh dari hubungan ibu-anak itu sendiri. Sebaliknya, perempuan sebagai ibu (dan laki-laki sebagai bukan ibu) menghasilkan anak laki-laki yang kapasitas dan kebutuhan pengasuhannya telah dibatasi secara sistematis dan ditekan."
Bagi Chodorow, implikasinya adalah bahwa “pembagian kerja secara seksual dan kekeluargaan di mana perempuan menjadi ibu dan lebih terlibat dalam hubungan afektif interpersonal dibandingkan laki-laki menghasilkan pembagian kapasitas psikologis pada anak perempuan dan laki-laki yang mengarahkan mereka untuk mereproduksi pembagian seksual dan kekeluargaan tersebut. tenaga kerja."
Chodorow summarized by claiming that "all sex-gender systems organize sex, gender, and babies. A sexual division of labor in which women mother organizes babies and separates domestic and public spheres. Heterosexual marriage, which usually gives men rights in women's sexual and reproductive capacities, and formal rights in children, organizes sex. Both together organize and reproduce gender as an unequal social relation."
Jadi mungkin salah satu ciri masyarakat yang sudah jauh lebih baik dalam hal hubungan gender adalah laki-laki dan perempuan akan menjadi orang tua, tanpa adanya pemisahan antara menjadi ibu dan menjadi ayah.
Another very typical structure that comes into question for many feminists thinking about improved sex-gender relations is the nuclear family. This is hard to even define, I think, but has to do with whether the locus of child care and familial involvement is very narrow, such as resting with only two biological parents, or instead involves many more people – perhaps an extended family or friends, community members, etc.
It seems highly unlikely that a good society would have for its gender relations any rules that required a few typical household organizations and family structures such that everyone must abide only those. We wouldn't expect that adults would by law have to live alone or in pairs or in groups in any single or even in any few patterns. The key point is likely to be diversity, on the one hand, and that whatever multiple and diverse patterns exist, each frequently chosen option embodies features that impose gender equity rather than imposing gender hierarchy.
While I don't feel equipped to describe such possible features, I can say that the men and women that are born, brought up, and then themselves bear and bring up new generations in a new and much better society will be full, capable, and confident in their demeanor and also lack differentiations that limit and confine the personality or the life trajectories of either – whether to some kind of narrow feminine or narrow masculine mold.
The same can be said, broadly, about sexuality and intergenerational relations. I don't think we know, or arguably even as yet have a very loose picture of what fully liberated sexuality will be like in all its multitude of preferences and practices or what diverse forms of intergenerational relations adults and their children and elders will enter into. What I think we can say, however, is that in future desirable societies no few patterns will be elevated above all others as mandatory though all widely chosen options will preclude producing in people a proclivity to dominate or to rule, or to subordinate or to obey, based either on sexual orientation or on age (or on any other social or biological characteristic, for that matter).
Kita tidak mempunyai gambaran spesifik tentang pola jenis kelamin-gender yang akan muncul, berkembang biak, dan terus berkembang di masa depan yang lebih baik – misalnya, monogami dan non-monogami, hetero, homo, atau bi-seksual, dan melibatkan perubahan pada institusi pemberi perawatan, keluarga, sekolah. , dan mungkin ruang politik dan sosial lainnya untuk anak-anak serta orang dewasa dan orang lanjut usia. Namun kita dapat menebak dengan yakin bahwa aktor dari segala usia, jenis kelamin, dan melakukan hubungan seksual suka sama suka yang tidak menindas akan terbebas dari stigma.
All the above is vague and modestly formulated. Will renovated kinship include the broad structural features intimated above? I don't know. I certainly believe future kinship will be very diverse, at any rate. But even without knowing the inner attributes of new institutions for family life and related interactions and while waiting for kinship vision to emerge more fully from feminist thought and practice, I think we can still say some useful things about these domains relations to economics and polity, and vice versa.
Kekerabatan dan Masyarakat Visioner
Lembaga kekerabatan diperlukan bagi masyarakat untuk mengembangkan dan memenuhi kebutuhan seksual dan emosionalnya, untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan untuk membesarkan anak-anak generasi baru. Namun hubungan kekerabatan saat ini meninggikan laki-laki dibandingkan perempuan dan anak-anak, menindas kaum homoseksual, dan membengkokkan potensi seksual dan emosional manusia.
Dalam masyarakat humanis, kita akan menghilangkan definisi-definisi yang bersifat menindas yang dipaksakan secara sosial sehingga setiap orang dapat menjalani kehidupan sesuai pilihannya, apa pun jenis kelamin, preferensi seksual, dan usianya. Tidak akan ada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin yang tidak bersifat biologis, dimana laki-laki melakukan satu jenis pekerjaan dan perempuan melakukan pekerjaan lain hanya karena mereka adalah laki-laki dan perempuan, dan juga tidak akan ada demarkasi peran individu secara hierarkis berdasarkan preferensi seksual. Kita akan memiliki hubungan gender yang menghormati kontribusi sosial perempuan dan laki-laki, dan yang mendorong seksualitas yang kaya secara fisik dan memuaskan secara emosional.
Misalnya, bentuk-bentuk kekerabatan baru mungkin akan mengatasi sempitnya monogami yang posesif sekaligus memungkinkan pelestarian kedalaman dan kesinambungan yang dihasilkan dari hubungan yang langgeng. Bentuk-bentuk baru kemungkinan besar akan menghancurkan pembagian peran yang sewenang-wenang antara laki-laki dan perempuan sehingga kedua jenis kelamin bebas untuk mengasuh dan memulai. Mereka kemungkinan besar juga akan memberikan ruang kepada anak-anak untuk mengatur diri sendiri meskipun mereka juga memberikan dukungan dan struktur yang dibutuhkan anak-anak.
Namun apa yang membuat semua ini mungkin terjadi? Pandangan saya yang terbatas, sebagaimana yang ada saat ini, sambil menunggu lebih banyak pembelajaran dan pengalaman, menyusul.
Tentu saja perempuan harus memiliki kebebasan reproduksi—kebebasan untuk memiliki anak tanpa rasa takut akan sterilisasi atau perampasan ekonomi, dan kebebasan untuk tidak memiliki anak melalui akses tanpa hambatan terhadap alat kontrasepsi dan aborsi. Tidak ada yang lebih berkompromi dalam masalah ini dibandingkan dengan berkompromi mengenai kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Sama seperti kepemilikan swasta yang mencabut hak-hak pekerja untuk mengontrol dan mengarahkan kapasitas kerja mereka, penolakan terhadap alat kontrasepsi dan aborsi juga mencabut hak-hak perempuan untuk mengontrol dan mengelola kapasitas reproduksi mereka dan juga kehidupan mereka secara umum.
Namun hubungan kekerabatan feminis juga harus memastikan bahwa peran dalam mengasuh anak tidak memisahkan tugas berdasarkan gender dan adanya dukungan bagi pasangan tradisional, orang tua tunggal, pola asuh lesbian dan gay, serta pengaturan pola asuh yang lebih kompleks dan beragam. Semua orang tua harus memiliki akses mudah ke tempat penitipan anak berkualitas tinggi, jam kerja fleksibel, dan pilihan cuti sebagai orang tua. Intinya bukanlah untuk membebaskan orang tua dari pengasuhan anak dengan menyerahkan generasi berikutnya ke lembaga-lembaga yang tidak peduli yang sebagian besar dikelola oleh perempuan (atau bahkan perempuan dan laki-laki) yang dianggap rendah penghargaan sosialnya. Idenya adalah untuk meningkatkan status pengasuhan anak, mendorong interaksi yang sangat personal antara anak-anak dan orang dewasa, dan mendistribusikan tanggung jawab atas interaksi ini secara adil antara laki-laki dan perempuan dan seluruh masyarakat.
Lagi pula, tugas sosial apa yang lebih penting daripada membesarkan generasi penerus bangsa? Jadi, apa yang lebih irasional daripada ideologi patriarki yang menyangkal status yang pantas bagi mereka yang menjalankan peran sosial penting ini? Dalam masyarakat yang diinginkan, kegiatan kekerabatan tidak hanya harus diatur secara lebih adil, namun evaluasi sosial terhadap kegiatan ini juga harus diperbaiki.
Feminism should also embrace a liberated vision of sexuality respectful of individual's inclinations and choices, whether homosexual, bisexual, heterosexual, monogamous, or non-monogamous. Beyond respecting human rights, the exercise and exploration of different forms of sexuality by consenting partners provides a variety of experiences that can benefit all. In a humanist society that has eliminated oppressive hierarchies, sex can be pursued solely for emotional, physical, and spiritual pleasure and development, or, of course, as part of loving relationships. Experimentation to these ends will likely not merely be tolerated, but appreciated.
Kita memerlukan visi mengenai hubungan gender di mana perempuan tidak lagi disubordinasikan dan bakat serta kecerdasan separuh spesies pada akhirnya bebas. Kita membutuhkan sebuah visi dimana laki-laki bebas untuk mengasuh, masa kanak-kanak adalah masa bermain dan meningkatkan tanggung jawab dengan kesempatan untuk belajar mandiri tanpa rasa takut, dan di mana kesepian tidak dianggap sebagai suatu sifat buruk yang pegangannya berubah seiring berjalannya waktu.
Visi kekerabatan yang baik akan memulihkan kehidupan dari kebiasaan dan kebutuhan untuk menjadikannya sebuah bentuk seni yang mampu kita praktikkan dan sempurnakan. Namun tidak ada alasan bahwa semua ini bisa dicapai dalam semalam. Juga tidak ada alasan untuk berpikir bahwa hanya satu lembaga pengasuhan mitra yang terbaik bagi semua anak. Meskipun keluarga inti masa kini, khususnya jika pola hidup ini merupakan pola hidup yang paling banyak ditemui atau setidaknya paling dikagumi, telah terbukti sangat sesuai dengan norma-norma patriarki, jenis keluarga inti yang berbeda pasti akan berkembang seiring dengan sejumlah bentuk kekerabatan lainnya. orang bereksperimen dengan cara mencapai tujuan feminisme.
Ekonomi dan Perempuan dan Laki-Laki
Capitalist economics is more subtle than some critical analysts think vis a vis women and men. There is, in fact, nothing in the defining institutions of capitalism–private ownership of productive property, corporate divisions of labor, authoritative decision making, and markets–that even notices much less differentiates and hierarchically arrays men and women due to a strictly economic dynamic and logic. On the other hand, if a society's sex gender system produces a differentiation between men and women, capitalist economy will not ignore that reality but will, indeed, accommodate it or even co-reproduce it, as discussed in Part One.
Jadi, jika laki-laki dan perempuan diatur berdasarkan hubungan kekerabatan dan hubungan kekerabatan lainnya sehingga laki-laki mempunyai harapan akan dominasi relatif terhadap laki-laki, perekonomian kapitalis akan beroperasi dalam situasi ini.
Misalkan seorang majikan ingin mempekerjakan seorang manajer. Sekalipun pekerjanya adalah laki-laki dan perempuan serta laki-laki yang melamar, dan perempuan memiliki kualifikasi yang lebih baik dan lebih cocok untuk melakukan tugas-tugas yang sebenarnya, namun dalam masyarakat yang seksis, laki-laki jauh lebih berpeluang mendapatkan pekerjaan tersebut – dan hal ini memang benar. bahkan jika pemberi kerja tidak memiliki bias gender sama sekali.
Alasannya adalah karena pemberi kerja membutuhkan tenaga kerja untuk merasa patuh dan berada di bawah manajer, dan membutuhkan manajer untuk merasa berwibawa dan lebih unggul dari pekerjanya, dan kecil kemungkinannya pola ini akan muncul karena prasangka seksual dalam masyarakat dibandingkan dengan pola tersebut. adalah agar pola yang dicari muncul sesuai dengan perintah tersebut.
Dengan kata lain, pembagian kerja korporasi memanfaatkan alih-alih berusaha melawan hierarki gender yang dibangun berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Ini menempatkan laki-laki di atas perempuan daripada mengabaikan instruksi yang berasal dari kekerabatan.
Demikian pula, pola upah akan mencerminkan perbedaan kekuatan tawar-menawar yang diterapkan oleh seksisme terhadap laki-laki dan perempuan. Laki-laki, jika hal-hal lain dianggap sama, akan dapat memperoleh upah yang lebih besar untuk pekerjaan yang sama dibandingkan perempuan, karena pemilik mengeksploitasi posisi subordinat dan rendahnya daya tawar perempuan.
These are the minimal accommodations of capitalist economies to sexist kinship relations. Capitalism's hierarchies don't challenge and largely incorporate gender hierarchies. Women disproportionately occupy subordinate positions. Women earn less. There emerge the distressing details including the tremendous incidence of female poverty, ill health, and rape and other violence that we all by now know about.
Penting untuk disadari bahwa terdapat dampak yang lebih mendalam dari kekuatan hierarki seksis terhadap hubungan ekonomi. Gaya dan pola perilaku laki-laki dan perempuan yang dihasilkan oleh sistem gender patriarki dapat mempengaruhi peran ekonomi sehingga peran ekonomi mulai benar-benar memasukkan ciri-ciri sistem gender dibandingkan hanya mengakomodasi atau mengeksploitasinya.
In other words, women's economic jobs can take on attributes of nurturance and care giving and maintenance which are in no sense required by or even entirely logical in light of only economic dictates, and similarly for men's roles taking on male patterns also imposed by kinship definitions even contrary to purely economic logic.
In this case we will see jobs in the economy that both reflect and very importantly actively reproduce male and female behavior imposed by a patriarchal sex gender system. The economy then becomes complicit in reproducing sexism. Thus, as Batya Weinbaum points out in the book Curious Courtship of Women's Liberation and Socialism, "
Dampak Parecon dan Parpolity
In parecon, however, reproduction of sexist relations emanating from a patriarchal sex gender system disappears. It isn't just that a participatory economy works nicely alongside a liberated kinship sphere. It is that a parecon precludes or at least militates against non-liberated relations among men and women. Parecon is in contradiction to sexism.
Parecon tidak akan memberikan laki-laki pekerjaan yang lebih memberdayakan atau pendapatan yang lebih besar dibandingkan perempuan karena parecon tidak dapat memberikan keuntungan seperti itu kepada kelompok mana pun dibandingkan kelompok lain.
Kompleksitas pekerjaan yang seimbang dan manajemen mandiri membutuhkan dan mencari orang dewasa yang mampu terlibat dalam pengambilan keputusan dan melakukan pemberdayaan tenaga kerja secara kreatif, tanpa memandang gender atau atribut biologis atau sosial lainnya.
Tidak ada proses hierarki parecon yang lahir dalam relasi gender karena tidak ada hierarki dalam parecon yang bisa mematuhinya. Perempuan tidak boleh mempunyai penghasilan yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, atau mempunyai pekerjaan yang kurang memberdayakan, dan juga tidak mempunyai hak untuk memberikan suara dalam pengambilan keputusan.
Namun bagaimana dengan pekerjaan rumah tangga? Banyak feminis yang saat ini bertanya-tanya, "parecon mengklaim telah menghilangkan perbedaan dalam pekerjaan dan pendapatan yang dibutuhkan oleh seksisme kontemporer, namun apakah pekerja rumah tangga merupakan bagian dari perekonomian? Mengapa atau mengapa tidak?"
Kecenderungan saya adalah mengatakan bahwa tidak ada satu jawaban yang tepat untuk pertanyaan ini, sama halnya dengan sebagian besar pertanyaan lain di luar isu-isu yang menentukan hubungan ekonomi.
In other words, I can imagine a society that treats household labor of diverse types as part of its participatory economy and I can imagine one that doesn't. With my current state of understanding, I would prefer, myself, the latter type, for a few reasons. But neither choice is ruled out or made inevitable, I think, purely by the logic of parecon.
Beyond that logical openness, however, I tend to think household labor shouldn't be considered part of the economy to be subject to the norms of productive labor with remuneration for effort and sacrifice, etc.
First I think this because I just don't think nurturing and raising the next generation is like producing a shirt, stereo, scalpel, or spyglass. There is something fundamentally distorting, to my thinking, about conceptualizing child care and work place production as being the same type of social activity.
Alasan utama kedua yang menurut saya pekerja rumah tangga tidak boleh dihitung sebagai bagian dari produksi ekonomi adalah karena sebagian besar hasil kerja rumah tangga dinikmati oleh produsen itu sendiri. Haruskah saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk merancang dan memelihara rumah tangga dan menerima lebih banyak upah sebagai hasilnya? Kalau iya, saya mendapat output dari pekerjaan itu dan kemudian saya mendapat penghasilan lebih banyak juga. Ini berbeda dengan pekerjaan lain dan menurut saya mengubah desain ruang tamu atau merawat taman lebih seperti konsumsi daripada produksi.
Misalkan saya suka bermain piano, atau membuat model pesawat terbang, atau apa pun. Aktivitas yang saya lakukan untuk hobi saya memiliki banyak kesamaan dengan pekerjaan tetapi kami menyebutnya konsumsi karena saya melakukannya di bawah naungan saya sendiri dan untuk diri saya sendiri. Sebaliknya, yang kami sebut kerja adalah apa yang kami lakukan di bawah naungan dewan pekerja untuk menghasilkan keluaran yang dapat dinikmati oleh orang lain selain diri kami sendiri.
Is there a problem in saying that because caring for and raising children is fundamentally different in kind than producing cars or screwdrivers and in saying that maintaining a household is different in its social relations and benefits than working in a factory, and deducing that on these bases we shouldn't count household labor as work to be remunerated and occur under the auspices of parecon's workplace institutions?
I guess if we think it is impossible to have a transformation of sex-gender relations themselves then there is a problem, yes. If the norms and structures of households and living units are highly sexist, and if a parecon doesn't incorporate household labor as part of the economy and subject to its norms, then household labor will be done overwhelmingly by women and will as a result reduce their leisure or their time for other pursuits relative to men.
But why assume that? Why shouldn't it be that transformed norms for household labor are produced by a transformation of sex gender relations themselves, rather than by calling household labor part of the economy?
Take it in reverse. If this were a book about feminism and the rest of society and if I had mapped out a feminist sex-gender vision, I don't think many people would ask whether we can count the workplace as a household so that it gets the benefits of the innovative relations that new families and living units have. We would assume, instead, that there would need to be a revolution in the economy, not just in kinship, and we would rely on the former for the chief redefinitions of life at work even as we also anticipated and required that the economy abide and even abet the gains in kinship, and even as we worked to ensure that the gains of each meshed compatibly with the other.
Dalam keadaan apa pun, jelas bahwa parecon bertentangan dengan seksisme karena di satu sisi parecon tidak memiliki alasan untuk dan bahkan tidak dapat memasukkan hierarki seksis, dan di sisi lain parecon memberdayakan dan memberi imbalan kepada perempuan dengan cara yang tidak memungkinkan mereka mudah disubordinasikan dalam hal apa pun. ranah lain.
The situation with the polity is even more simple and straightforward. Of course legislative and other structures in no way favor one gender versus another. And obviously laws must be consistent with feminist kinship, as feminist kinship must nurture and socialize people capable of participatory in self managing political relations. So the polity will have laws, constitutional and otherwise, guaranteeing the character of political relations is consistent with and even reproductive of the feminist benefits of new kinship relations, and vice versa.
Perhaps it is the paucity of my understanding showing, but other than in direct analogy to the above discussion, I honestly don't see a deeper relation of economics or politics and sexuality. If there is homophobia or other sexual hierarchies in a society, and if the economy is capitalist, then the economy will to the extent owners are able to do so exploit whatever differentials in bargaining power they are handed and likewise a typically top down polity will at least reflect them and often exacerbate them. Beyond this, however, the capitalist economy and any authoritarian polity may also incorporate gay and straight behavior patterns into economic roles, consumption patterns, etc. With parecon and parpolity, however, no exploitation of sexual difference is even possible much less enacted in the economy because there is one norm of remuneration and one logic of labor definition that applies to everyone which by their very definition foreclose options of hierarchy, while the polity derives from and thus reflects and protects the will of men and women schooled by feminist relations.
More positively, it seems to me that whatever liberated sexuality will mean in a future society it can only be hastened and abetted by economic and political relations that bestow on actors self managing power and just allocations thereby tending to generate actors expecting to be creative, initiating, and self managing in other spheres of their lives than just the economic.
In other words, what healthy sexuality requires of an economy and polity to be consistent and even nurturant of its outcomes a parecon can and automatically does deliver–people prepared to partake of life fully and equally to others, utilizing their capacities, enjoying dignity and equity of conditions, and self managing their options.
What about intergenerational conflict? Whereas capitalism will exploit age differentials for profit via remuneration for the young and old reduced due to these constituencies’ reduced bargaining power and will take advantage of different capacities related to age differences for exploitative divisions of labor and will rush premature labor entry or slow warranted labor withdrawal compared to humane choices, again for exploitative reasons, a parecon will not only not promote humane behaviors but will literally make their obverse impossible due to being contrary to defining parecon norms and structures. Similarly a parpolity will likewise protect and incorporate the will of people of all ages, as self management permits nothing less.
Societies will decide the role of the elderly, retirement ages, etc. and likewise for young people's entry into economic and political responsibility. While familiar and other extra-economic intergenerational relations will certainly not be governed solely by economic or political impositions and will arise, instead, due to a host of variables including new kinship and gender forms, the fact that a parecon and a parpolity require developed and fully participatory and self managing actors imposes on life more generally a respect for all actors and gives all actors material equality and behavioral wherewithal and habits contrary to any kind of subordination emanating from any other of society's institutions.
We don't yet know what liberating gender, sexual, and intergenerational relations will be like but we can say parecon and parpolity would appear likely to be quite compatible and even nurturing of them, just as they would nurture and socialize young people into preparedness for self managing economic and political life. Before long hopefully further kinship vision will exist and this claim and parecon and parpolity – along with feminist kinship – can be further elaborated, tested, or refined, as need be.
ZNetwork didanai semata-mata melalui kemurahan hati para pembacanya.
Menyumbangkan